- / / : 081284826829

Kualitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi Abad 21

Oleh ARDA DINATA
 

VISI
dan misi Program Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi telah mengalami reposisi dari Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi “Keluarga Berkualitas 2015”. Salah satu inti programnya ialah meningkatkan kualitas penduduk melalui peengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian dan meningkatkan kualitas Program KB.

Visi baru ini berorentasi luas, tidak hanya pendekatan demografi. Dalam visi baru itu jumlah anak ideal tidak dibatasi dua, melainkan sesuai keinginan dan kemampuan keluarga, namun tetap memperhatikan kepentingan sosial. Dengan adanya reorientasi Program KB Nasional ini, berarti akan menjamin kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi lebih baik. Dalam arti lain, program ini menghargai dan melindungi hak-hak reproduksi, yang menjadi bagian dari hak asasi manusia universal.

Definisi keluarga berkualitas menurut BKKBN adalah keluarga yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, bertanggung jawab, harmonis, dan berwawasan ke depan. Sehingga, dengan pola-pola pembangunan keluarga seperti itu, tentu akan membentuk suatu tatanan ketahanan keluarga yang handal.

Akhirnya, lewat ketahanan keluarga yang tercipta, diharapkan bahaya narkotika, dan obat berbahaya, penyakit menular seksual, HIV/AIDS, aborsi, dll. bisa ditekan dan berlanjut dengan terwujudnya ketahanan nasional.


Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi dapat berlangsung dalam keadaan sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan saja terbebas dari penyakit atau gangguan fungsi alat reproduksi.

Senada dengan itu, WHO menyebutkan kesehatan reproduksi menyangkut proses, fungsi dan sistem reproduksi pada seluruh tahap kehidupan. Oleh karena itu, dalam konsep kesehatan reproduksi terkandung asumsi bahwa setiap individu dapat memperoleh kehidupan seks yang bertanggung jawab, memuaskan dan aman. Juga dapat mempunyai kapasitas reproduksi dan kebebasan untuk menentukan jumlah anak, jarak dan waktu kapan memperoleh anak.

Dengan demikian, kesehatan reproduksi merupakan unsur yang penting dalam kesehatan umum baik perempuan maupun laki-laki. Kesehatan reproduksi juga merupakan persayaratan yang esensial bagi kesehatan bayi dan anak-anak, remaja dan orang yang berusia di luar masa reproduksi (baca: menaupouse).

Berkait masalah kesehatan reproduksi ini, menurut Prof. Dr.,dr., H. Djamhoer Martaadisoebrata, MSPH, SpOG, Guru Besar Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fak. Kedokteran Unpad Bandung, dalam menghadapi tantangan masa yang akan datang, bangsa Indonesia menghadapi dua masalah. Pertama, bagaimana memperbaiki keadaan kesehatan reproduksi dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu.

Kedua, bagaimana meningkatkan daya saing khususnya dalam profesionalisme, penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran sehingga dapat setaraf dengan pakar asing, baik dalam bidang pelayanan, pendidikan maupun penelitian.

Pelayanan Kesehatan Reproduksi


Adapun pelaksanaan kesehatan reproduksi berdasarkan batasan dari WHO dapat dijalankan dalam bentuk pelayanan: kesehatan ibu dan anak/KIA (Maternal and Chlid Health Care); keluarga berencana (Family Planning); dan ginekologi (terutama infeksi, kanker ginekologi, kelainan endokrin dan seksual).

Pertama, kesehatan ibu dan anak. Pelayanan ini ditujukan kepada ibu-ibu hamil dengan tujuan untuk mengawasi dan mengamankan proses reproduksi sehingga kehamilan, persalinan dan masa nifas dapat berlangsung secara aman.

Tolak ukur keberhasilannya ialah angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Datanya di Indonesia angka AKI/AKB ini masih tinggi. Yakni angka kematian ibu saat melahirkan yaitu 450 per 100 ribu kelahiran hidup. Adapun AKB di Indonesia tercatat 40 per 1.000 kelahiran hidup. (Kompas, 6/02/2002).

Kematian ibu hamil yang tinggi tersebut disebabkan oleh terlambatnya mendapat pertolongan tenaga medis, juga disebabkan oleh faktor-faktor yang mengakar dalam keluarga dan masyarakat (baca: rendahnya pengetahuan keluarga mengenai kesehatan reproduksi).

Dengan demikian, kondisi hasil proses reproduksi saat ini, dapat dikatakan masih tidak memuaskan. Mengapa? Paling tidak, ada tiga faktor sebagai penyebabnya. Pertama, karakteristik ibu hamil yang kurang baik. Hal ini dikarenakan banyak kehamilan yang berisiko tinggi, sehingga menimbulkan berbagai penyakit. Dan banyak kehamilannya yang tidak dikehendaki/direncanakan, sehingga meningkatkan upaya abortus provokatus (aborsi disengaja). Datanya menunjukkan dari sekira 210 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat dua seperempat juta kasus aborsi pertahun.

Kedua, tidak semua ibu hamil mendapat cukup informasi dan akses terhadap pelayanan kesehatan profesional secara tepat waktu. Dan ketiga, pelayanan profesional tentang KIA belum tersebar secara merata.

Atas dasar itu, maka melihat keterbatasan dana dan infrastruktur yang belum siap di Indonesia, sehingga perlu dipilih upaya yang mempunyai daya ungkit terbesar terhadap perbaikan derajat kesehatan reproduksi dan sekaligus dapat berfungsi sebagai program jangka pendek. Dalam hal ini, WHO merekomendasikan bahwa Health Care-lah yang memiliki daya ungkit besar dan berdampak segera. Yakni berupa Health Care (pelayanan kesehatan reproduksi) yang profesional, baik klinis maupun manejerial.

Kedua, keluarga berencana (KB). Pelayanan KB sebetulnya bermaksud untuk mengatur kesuburan. Mereka yang terlalu subur, dijarangkan. Sedangkan yang tidak atau kurang subur diobati agar mendapatkan keturunan.

Oleh karena itu, pada kenyataannya jenis pelayanan KB meliputi pelayanan kontrasepsi dan pelayanan kemandulan. Dengan menggunakan kontrasepsi secara baik, kita dapat menghindarkan dua hal buruk, yaitu kehamilan resiko tinggi dan kehamilan yang tidak dikehendaki.

Saat ini, di Indonesia paling tidak ada sekira 20-30% pasangan suami-istri yang sangat mendambakan keturunan. Mereka ini, dengan berbagai sebab, baik dari segi istri ataupun suaminya, tidak dapat hamil secara alamiah dan memerlukan bantuan khusus. Mulai dari inseminasi buatan sampai bayi tabung (baca: Assisted Reproductive Technology/ART). Inilah model dari pelayanan kemandulan. Dan kelihatanya, jenis pelayanan ART ini di Indonesia masih terbatas (Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan), sehingga belum ternikmati oleh seluruh masyarakat dan biayanya relatif mahal.

Ketiga, ginekologi. Yakni ilmu yang mempelajari kelainan alat dan fungsi reproduksi di luar kehamilan, seperti infeksi tumor/kanker, kelainan endokrin, kelainan seksual, dll. Dalam kaitan ini, ada dua jenis kelainan yang terpenting yaitu infeksi dan kanker alat reproduksi (khususnya kanker mulut rahim).

Pertama, Sexually Transmitted Diseases (STD). Yaitu penyakit yang terjadi akibat hubungan kelamin, terutama mengenai alat reproduksi, seperti vulva, vagina, serviks, rahim, tuba dan ovarium. Istilah lainnya disebut penyakit infeksi akibat hubungan seksual. Penyebabnya, mulai dari bakteri, jamur, parasit sampai berbagai jenis virus (termasuk HIV penyebab AIDS).

Penyakit tersebut dianggap penting, sebab selain merupakan fenomena medis, juga berdampak terhadap aspek moral dan sosial. Sementara itu, di lihat dari segi epidemologi, STD ini cenderung terus meningkat, disebabkan oleh adanya perubahan norma kehidupan seksual yang lebih menjurus ke arah kebebasan seks; kurangnya pendidikan seks yang sehat; dan masih banyaknya persalinan yang tidak bersih.

Kedua, penyakit kanker mulut rahim. Penyakit ini, walaupun kita belum mempunyai angka nasional yang pasti. Namun hal ini, jelas sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat. Adapun terjadinya kanker mulut rahim, diantaranya karena kawin muda, anak banyak, kebersihan kurang, infeksi mulut rahim kronis, dan sering ganti pasangan.

Pelayanan Kesehatan Reproduksi Abad 21

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat dikatakan kalau bangsa Indonesia saat ini masih “kurang berhasil” dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal (baik pelayanan KIA, KB, maupun ginekologi). Semuanya itu bersumber pada faktor perilaku, keberdayaan masyarakat dan profesionalisme tenaga pemberi pelayanan.

Oleh karena itu, agar tiap kehamilan berhasil baik, maka perlu adanya peningkatan pelayanan KIA dan KB berupa: (1) Tiap pasangan suami-istri harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang profesional pada waktu yang tepat.

(2) Harus dihindarkan terjadinya kematian pada golongan yang disertai penyulit dengan cara essential dan emergency obstetric care. (3) Harus dihindarkan terjadinya kehamilan risiko tinggi dan kehamilan yang tidak dikehendaki, dengan pelayanan dan pengayoman KB yang baik.

Berkait dengan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi sendiri, maka kita hendaknya harus benar-benar profesional dalam memasuki era kesejagatan (baca: abad ke-21). Hal ini harus tercermin dari: (1) Kemampuan untuk memperbaiki kondisi kesehatan reproduksi. (2) Kemampuan untuk bersaing dan bekerjasama dengan tenaga asing, terutama dalam penguasaan dan pengembangan iptek bidang kedokteran.

Untuk mencapai hal tersebut, perlu perbaikan dan peningkatan bentuk pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), pelayanan KB, dan pelayanan ginekologi. Pertama, pelayanan KIA. Untuk tingkat pelayanan primer dan sekunder berupa: membatasi dan memberdayakan peran dukun; meningkatkan jumlah dan mutu bidan desa, khususnya dalam ketrampilan bersifat “life saving”; meningkatkan kemampuan puskesmas, sehingga dapat melaksanakan: “the four pillars of safe motherhood” (familly planning, antenata one care, clean/safedelivery, essentiol obstetric care); meningkatkan peran Rumah Sakit (RS) kabupaten dalam pembinaan wilayah berupa strategi pendekatan resiko, sistim rujukan dan audit maternal perinatal (AMP) serta kemampuan menyelesaikan kasus darurat.

Untuk tingkat pelayanan tertier berupa meningkatkan kemampuan diagnosis intra uterin adanya gangguan kesejahteraan janin, kelainan organ, kelainan genetik, in-born error diseases, dll. Meningkatkan kemampuan terapi intra uterin, seperti intra uterin exchange transfusion..

Kedua, pelayanan KB. Untuk tingkat primer dan sekunder meningkatkan konseling pelayanan dan pengayoman kontrasepsi. Untuk tingkat tertier meningkatkan kemampuan Assisted Reproductive Technologi (ART).

Ketiga, pelayanan ginekologi. Penyuluhan meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi tentang pendidikan seks, penyakit infeksi akibat hubungan seksual, kanker ginekologi dan menopouse. Di samping itu, perlu juga meningkatkan ketrampilan teknik operasi, seperti laparoscopie surgery, kenoterapi, dll.

Yang jelas, upaya untuk peningkatan profesionalisme tersebut harus di dukung pula oleh peningkatan dalam pendidikan, penelitian, dan teknologi informatika bidang kesehatan. Sedangkan berkait dengan pengetahuan kesehatan reproduksi tersebut, tentu akan lebih baik apabila sejak remaja telah betul-betul memahami kondisi kesehatan reproduksinya, sehingga mereka mampu menjaga dan merawatnya dengan baik.

Akhirnya, segala persoalan tersebut telah menjadi satu kenyataan tersendiri bagi kelangsungn hidup bangsa Indonesia yang berbasis pada keluarga. Oleh karena itu, membangun keluarga berkualitas tidak terlepas dari terjaminnya kualitas pelayanan kesehatan reproduksi, yang merupakan suatu kebutuhan mendesak dan perlu dilaksanakan secara sungguh-sungguh serta dinikmati merata oleh masyarakat Indonesia. Wallahu’alam.***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kesehatan dan tergabung pada Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI), tinggal di Bandung.

Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Jurnalistik Kependudukan 2003 yang diadakan oleh BKKBN.


Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com
WWW.ARDADINATA.COM