- / / : 081284826829

Hidrolisat Protein Ikan dan Bahan Fortifikasi Makanan

Oleh: Arda Dinata
Email:
arda.dinata@gmail.com

MESKIPUN potensi sumber daya ikan begitu besar, namun pola konsusmsi makanan sebagian besar masyarakat Indonesia masih bercirikan pola agraris yang bertumpu pada beras dan hewan ternak darat. Rendahnya tingkat konsumsi ikan mungkin disebabkan ikan sulit diperoleh dalam keadaan segar, baunya amis, dan tulangnya banyak sehingga mengurangi kenikmatan saat makan, atau kesulitan dalam pengolahan.



Salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengatasi masalah peningkatan tingkat konsumsi produk perikanan akibat ketidaksukaan ikan dan penyebaran produk ikan adalah pengolahan ikan dalam bentuk hidrolisat protein. Hidrolisat protein ikan merupakan sari pati protein dari ikan yang dapat digunakan sebagai makanan suplemen dan bahan fortifikasi untuk berbagai makanan.

Dalam pandangan Pigott dan Tucker (1990), hidrolisat protein ikan adalah produk cairan yang dibuat dari ikan dengan penambahan enzim proteolitik untuk mempercepat proses hidrolisis dalam kondisi terkontrol dengan hasil akhir berupa campuran komponen protein.



Keberadaan hidrolisat protein ikan (HPI) merupakan pengembangan dari proses pembuatan konsentrat protein ikan dan silase. Dimana pada kedua produk tersebut protein yang diperoleh mempunyai sifat fungsional yang sangat rendah, sehingga pada umumnya produk yang dihasilkan hanya sebatas digunakan untuk pakan ternak. Untuk itu, pengolahan ikan menjadi HPI diharapkan dapat memperbaiki sifat-sifat tersebut, sehingga dapat dimanfaatkan untuk produk pangan manusia.

Berbagai sumber protein, baik protein nabati maupun protein hewani dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk pembuatan protein hidrolisat. Kelebihan penggunaan daging ikan sebagai bahan baku pembuatan hidrolisat protein adalah dagingnya berserat seperti hewan mamalia darat, tetapi seratnya lebih halus dan lebih pendek ukurannya, serta komposisi proteinnya cukup lengkap, sehingga dapat meningkatkan mutu produk akhir HPI (Hadiwiyoto, 1993).

Produk hidrolisat protein dari bahan baku ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Pemanfaatan ikan yang mengandung banyak lemak akan menghasilkan hidrolisat dengan kandungan lemak tinggi, sehingga akan memperpendek masa simpan. Hal lain yang berpengaruh adalah jenis katalis yang digunakan. Hidrolisat protein yang dibuat dari ikan berlemak rendah (non fatty fish), mengandung protein (85–90%), lemak (2–4%) dan abu (6-7%) berdasarkan berat kering (Pigot dan Tucker, 1990).

Teknologi pengolahan untuk memproduksi hidrolisat protein merupakan teknologi murah dan mesin pengolahnya telah tersedia secara komersial. Salah satu keuntungan terbesar dari produk ini adalah semua jenis hasil samping perikanan dan ikan-ikan rucah (bernilai ekonomis rendah) dapat digunakan untuk memproduksi hidrolisat dibanding produk-produk perikanan lainnya yang hanya dapat diproduksi dengan jenis-jenis ikan tertentu.

Hidrolisat protein mempunyai peranan penting di dalam fortifikasi makanan dan minuman untuk memperkaya protein dan nilai gizi makanan, sehubungan dengan tingginya tingkat kelarutan dan kecernaan. Dari beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan hidrolisat protein ikan secara luas digunakan sebagai bahan tambahan makanan dalam sup, kuah daging, rasa daging, makanan diet, penyedap sosis, biskuit, crackers, dan mayonaise. Hidrolisat protein ikan juga berguna sebagai bahan fortifikasi untuk memperkaya nilai gizi produk makanan suplemen terutama untuk anak-anak dan bahan pengganti albumin telur pada proses pembuatan es krim, agar-agar, serta secara fungsional dapat dikatakan sebagai bahan pengemulsi, pengembang dan bahan pengisi (Pigot dan T ucker, 1990).

Dalam perkembangannya, hidrolisat protein juga digunakan sebagai diet medis khusus seperti pada kasus pancreatitis, sindrom akibat kesulitan buang air besar, penyakit Crohn, dan alergi akibat makanan. Dengan demikian diharapkan hidrolisat protein ini nantinya akan dikembangkan untuk menggantikan protein susu sapi yang pada sebagian orang/bayi menimbulkan alergi (Schimidi et al., 1994).

Hidrolisat protein yang dibuat secara komersial sebagai penyedap makanan dapat menggunakan asam, basa atau enzim sebagai bahan penghidrolisisnya. Pada umumnya protein akan terhidrolisis dengan sempurna selama 16-24 jam dengan menggunakan asam atau basa kuat pada tekanan atmosfir. Meskipun demikian hidrolisis asam tidak menguntungkan, karena triptofan, asparagin, glutamin dan sejumlah asam amino lain hancur. Apabila menggunakan enzim, hidrolisis baru sempurna setelah beberapa hari pada kondisi yang terpilih dan terkontrol dengan baik (Johson dan Peterson, 1974).

Pada pembuatan hidrolisat protein, beberapa faktor sangat berpengaruh terhadap kecepatan hidrolisis dan kekhasan produk, yaitu suhu, waktu hidrolisis, dan konsentrasi enzim yang ditambahkan, sedangkan tingkat kerusakan asam amino dipengaruhi oleh kemurnian protein dari bahan awal, serta kondisi dan jenis bahan penghidrolisis yang digunakan. Lama proses hidrolisis merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap mutu hidrolisat yang dihasilkan. Waktu hidrolisis yang berlebih menyebabkan jumlah peptida dan asam amino menurun dan jumlah padatan tidak fungsional meningkat (Pigot dan Tucker, 1990).

Bila hidrolisis dilakukan dengan sempurna maka akan diperoleh hidrolisat dengan 18-20 macam asam amino. Produk akhir hidrolisat protein dapat berupa cair, pasta atau bubuk yang bersifat higroskopis. Beberapa metoda untuk memproduksi hidrolisat protein telah tersedia. Teknologi yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Gopakumar, 1998):

Pertama, hidrolisis asam. Ikan dibersihkan dari lendir dan kotoran lainnya, kemudian digiling. Ikan yang telah digiling tersebut selanjutnya dimasak dengan 2–6 N larutan asam kuat pada suhu 90-100 derajat celcius selama 12-24 jam sampai semua produk terlarut sempurna. Kelemahan dari proses ini adalah produk yang dihasilkan menjadi sangat asam, sehingga perlu dinetralkan dengan alkali sampai pH 7. Tahap ini menyebabkan hidrolisat protein mengandung sejumlah besar garam. Selain itu, beberapa jenis asam amino menjadi rusak sehingga produk kehilangan nilai gizi.

Kedua, hidrolisis enzimatis. Di dalam industri, proses untuk memproduksi hidrolisat protein menggunakan proses enzimatis. Proses ini dipandang lebih sesuai dan lebih murah. Proses pengolahan juga lebih cepat dan memberikan hidrolisat protein tanpa kehilangan banyak asam amino esensial. Akan tetapi, enzim harus dipilih yang sesuai dengan proses tersebut. Pemilihan enzim tergantung kepada beberapa faktor seperti stabilitas, harga dll. Hidrolisat kemudian disaring dan dikeringkan dengan pengering vakum dan/atau spray drier sehingga produk yang dihasilkan berupa bubuk.

Penelitian yang berkembang mengenai pengolahan HPI adalah menggunakan proses enzimatis. Enzim proteinase dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan seperti papain, bromelin atau fisin, dari mikroorganisme, atau dari mamalia seperti pepsin dan tripsin. Kebanyakan hidrolisat protein memiliki rasa pahit. Sehingga beberapa jenis flavor digunakan dalam proses fortifikasi makanan untuk menutupi rasa pahit tersebut.

Teknologi pengolahan hidrolisat protein ikan masih relatif baru, sehingga produk yang dihasilkan ditinjau dari yield, mutu dan penerimaan organoleptik masih belum optimal. Hal ini bisa menyebabkan harga produk akan menjadi tinggi, sehingga tujuan peningkatan penggunaan produk perikanan dari HPI tidak akan tercapai. Dari segi mutu HPI juga masih mempunyai permasalahan diantaranya bubuk HPI yang dihasilkan bersifat higroskopis, sehingga akan membutuhkan metode penyimpanan tersendiri. Dari segi organoleptik, HPI juga masih mempunyai kendala seperti warna produk akhir yang kecoklatan serta mempunyai rasa pahit dan bau amis. Untuk mengatasi warna produk selama ini baru diupayakan penggunaannya disesuaikan dengan makanan yang akan diperkaya dengan HPI tanpa merugikan penampakan awal makanannya. Sedangkan untuk menutupi rasa pahit dan bau amis, maka dikombinasikan dengan berbagai flavor.

Berdasarkan patent yang telah terdaftar di Amerika Serikat ada dua metode yang mengklaim bahwa produk yang dihasilkan tidak berasa pahit atau berbau amis (Gildberg, 1993). Metode pertama, enzim yang digunakan adalah bromelin dan dengan kondisi proses yaitu suhu inkubasi 55 derajat celcius selama 15 menit. Sebelum dan sesudah proses enzimatis, dilakukan pasteurisasi pada suhu 80 derajat celcius untuk menginaktifkan enzim. Hidrolisat selanjutnya dikeringkan dengan pengering semprot. Produk yang dihasilkan mengandung 70% protein dan 25% lemak, mudah dilarutkan dalam air dan emulsinya stabil sampai beberapa hari.

Metode kedua menggunakan dua tahap hidrolisis, yaitu setelah ditambahkan air dengan jumlah yang sama dengan daging ikan, kemudian dipanaskan sampai diatas 60 derajat celcius untuk menginaktifkan enzim endogenus. Sesudah 15 menit, suhu diturunkan kembali sampai 60 derajat celcius, pH diatur sampai 9 dan ditambahkan enzim proteinase yang stabil pada pH tinggi. Setelah inkubasi selama 1 jam, pH diatur sampai 5.5 dan ditambahkan enzim proteinase yang aktif pada pH rendah selama 1 jam. Selanjutnya hidrolisat disentrifuse untuk memisahkan cairan minyaknya, dan dikeringkan dengan pengering vakum.

Proses hidrolisis yang singkat ditujukan untuk menghindari terbentuknya peptida yang menghasilkan rasa pahit. Beberapa metode juga telah dicoba diaplikasikan untuk menghilangkan rasa pahit selama proses hidrolisis, yaitu penambahan asam orthofosforat sebanyak 0.3 % (Venugol dan Lewis, 1981 dikutip oleh Yean, 1998).

Dengan demikian fokus penelitian saat ini untuk memproduksi HPI secara komersial adalah optimalisasi proses dengan mutu dan citarasa yang baik. Hal ini perlu diupayakan secara sungguh-sungguh mengingat kegunaan HPI yang cukup luas, serta HPI dapat diproduksi dari berbagai jenis ikan terutama dalam upaya pemanfaatan hasil samping pengolahan perikanan dan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis rendah. [Arda Dinata/sumber: giyatmi].***

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com

WWW.ARDADINATA.COM