- / / : 081284826829

Kawasan Bebas Rokok, Perlu Partisipatif Orangtua

Kawasan Bebas Rokok, Perlu Partisipatif Orangtua
Oleh ARDA DINATA
Email:
arda.dinata@gmail.com

MENTERI Pendidikan Nasional (Mendiknas), Yahya A Muhaimin pada tanggal 12 Oktober 2000 kemarin, mencanangkan kawasan bebas rokok bagi seluruh sekolah baik negeri maupun swasta mulai sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Pencanangan bebas rokok di kawasan pendidikan tersebut, tentunya harus kita dukung dengan sepenuh hati dalam pelaksanaannya. Terutama oleh komponen yang ada di sekolah, baik itu guru/dosen, siswa/mahasiswa dan karyawan tidak merokok selama berada di kawasan sekolah. Begitu juga prilaku kompenen ‘pendidik’ di lingkungan rumah (baca: orangtua dan anggota keluarga lainnya).

Sepintas, kita akan bertanya-tanya tentang seberapa besar derajat keberhasilan program itu. Mungkinkah, kita mampu melakukannya (perokok)? Apa sebenarnya yang melatar belakangi pencanangan kawasan bebas rokok itu. Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi para perokok muda, dewasa ini. Dan yang lebih penting lagi, faktor-faktor apa yang dapat mendukung terealisasinya sekolah sebagai kawasan bebas rokok?

Adanya pencanangan sekolah sebagai kawasan bebas rokok, ternyata tidak sedikit yang menanggapinya secara skeptis. Pasalnya, pemerintah dan beberapa kalangan yang seharusnya menangani masalah rokok, selama ini tidak komitmen dan “menindak” terhadap para pelanggar yang telah dilakukan oleh produsen rokok dan prilaku perokok itu sendiri.



Secara umum (tidak hanya masalah rokok), orang Indonesia itu tergolong gemar membuat suatu peraturan-peraturan. Namun, pada akhirnya peraturan yang telah dibuat itu bukannya untuk dipatuhi dan ditegakkan, tetapi justru berkecenderungan dilanggarnya. Inilah mentalitas bangsa Indonesia yang harus sama-sama kita perbaharui.

Untuk itu, harapan terciptanya kawasan bebas rokok yang akan dicanangkan oleh Mendiknas tersebut, derajat keberhasilannya benar-benar akan berpulang kepada individu dan “keluarga” masing-masing. Paling tidak, pencanagan ini berharap terhadap dunia pendidikan yang berisikan kaum terpelajar dan terdidik itu, agar dapat memberikan teladan kepada masyarakat untuk tidak merokok. Karena merokok itu tidak hanya membahayakan kesehatan (mengakibatkan sakit radang paru-paru, stroke, kanker paru dan penyakit jantung), tetapi lebih dari itu dapat berakibat kerugian materi dan kerusakan lingkungan.

Dalam konteks ini, sebenarnya Depdiknas telah mengatur kawasan bebas rokok di sekolah sejak 1997 lewat Instruksi Mendikbud No. 41/U/1997, namun instruksi ini tidak sepenuhnya dijalankan oleh sekolah di pelosok Indonesia. Secara demikian, melalui pencanagan kawasan bebas rokok di sekolah tersebut diharapkan akan mendorong jajaran internal sekolah untuk kembali melaksanakan instruksi itu bukan hanya sebatas serimonial belaka.

Perokok Muda

Kalau kita sadar, satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepanjang sepuluh centimeter itu, nyatanya ibarat sebuah “pabrik kimia berjalan” yang menghasilkan beberapa bahan kimia berbahaya dan beracun. Yang mana dalam satu batang rokok yang dibakar (dihisap) itu mengeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia.

Adapun bahan kimia yang ada dalam rokok itu, diantaranya berupa Acrolein, Karbon monoxida, Nikotin, Ammonia, Formic acid, Hydrogen cyanide, Nitrous oxide, Formaldehyde, Phenol, Acetol, Hydrogen sulfide, Pyridine, Methyl chloride, Methanol, dan Tar (baca: “Anda Mau Berhenti Merokok? Pasti Berhasil!” oleh dr. R.A. Nainggolan; 1998:27-32).

Melihat kandungan rokok di atas, maka tidak disangsikan lagi akibat yang dapat ditimbulkan dari kebiasaan merokok ini. Hal ini telah banyak dibuktikan dan diteliti melalui konseling-konseling yang hasilnya menyebutkan ada hubungan yang nyata antara timbulnya beberapa penyakit berbahaya dengan kebiasaan merokok seseorang.

Menurut estimasi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), jumlah perokok di dunia ada sekitar 1,1 miliar perokok, dan sepertiga diantranya adalah perokok muda (usia 15 tahun). Secara global diketahui bahwa hampir 1 dari 2 orang (47 persen) laki-laki adalah perokok. Sementara dari kalangan perempuan hampir 1 dari 8 (12 persen) orang adalah perokok. Di negara berkembang, 48 persen laki-laki, dan 7 persen perempuan, adalah perokok. Angka yang sama mengalami pergeseran di negara-negara maju, yakni 42 persen dan 24 persen (Republika, 29/5/98).

Pada acara dialog tentang kampanye “The Role of Student in Anticipating Smoking Issues,” belum lama ini (4/10), di kampus Unpad Bandung, dipaparkan data bahwa di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi rokok pada penduduk usia pelajar (kurang dari 15 tahun), dari 500 batang/tahun pada 1972 menjadi 1180 batang/tahun pada 1992 (meningkat dua kali lipat).

Dari survei WHO tahun 1985, diantaranya anak SD di Jakarta ditemukan 49 persen anak laki-laki dan 9 persen anak perempuan usia 10-14 tahun merokok setiap hari. Sementara survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 mengungkapkan bahwa 53 persen laki-laki usia kurang 10 tahun dan 4 persen perempuan merupakan perokok harian. Pada saat ini diperkirakan merokok dilakukan oleh 60 persen laki-laki dan 5 persen perempuan dalam segala usia (baca: Galamedia, 5/10/2000).

Faktanya tidak hanya itu, ternyata berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 1995, sebanyak 23 persen penduduk usia 10 tahun ke atas mempunyai kebiasaan merokok setiap hari, dan sekitar 90 persen dari mereka merokok di dalam ruangan. Lebih 50 persen dari perokok tersebut mulai merokok pada usia 15-19 tahun. Sementara itu, Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA, Environmental Protection Agency) mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak-anak berusia antara 1 hingga 1,5 tahun menderita bronchitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang disekitarnya terutama ayah ibunya (Media Indonesia, 31/5/98). Hal yang terakhir itu, agaknya yang sering dilupakan atau lebih tepat diabaikan oleh para perokok. Padahal, lingkungan asap rokok (Environmental Tobacco Smoke, ETS) juga berakibat serius terhadap kesehatan non-perokok, baik dewasa maupun anak-anak.

Menurut WHO, ETS adalah penyebab penyakit, seperti kanker paru-paru dan jantung koroner, yang juga mengenai orang sehat yang bukan perokok. Paparan asap rokok yang dialami terus menerus menambah risiko terkena kanker paru-paru dan penyakit jantung sebesar 20-30 persen pada orang dewasa yang sehat. Di samping itu, ETS dapat memperburuk kondisi orang yang memiliki asma, melemahkan dan merusak sirkulasi darah, menyebabkan bronchitis dan pneumonia. Asap rokok juga sering menyebabkan iritasi mata dan saluran nasal/hidung (Republika, 31/5/98).

Fakta di atas, memperlihatkan kepada kita akan terjadinya peningkatan jumlah perokok dari kelompok anak dan remaja. Hal ini tentunya diakibatkan oleh sejumlah faktor yang kompleks dan saling berkait, yang memberi prakondisi bagi remaja untuk merokok. Namun demikian, seperti dilansir harian Jawa Pos (2/6/1998) bahwa berdasarkan hasil studi belasan tahun menemukan yang paling umum adalah penerimaan produk tembakau, pajangan promosi pemasaran rokok, kemudahan mendapatkannya, adanya contoh dari orang dewasa, dan kelompok sebaya.

Keampuhan iklan perusahan rokok itu, diakui pula oleh Mr. Allan Landers, Duta WHO. Menurut Mr. Allan, peningkatan konsumsi rokok tersebut tak terlepas dari peranan iklan perusahaan rokok secara besar-besaran baik media cetak maupun elektronik. Sebuah studi longitudinal mengungkapkan adanya hubungan kausal antara aktivitas promosi dan kebiasaan merokok. Semakin tinggi tingkatan penerimaannya terhadap iklan atau promosi rokok, semakin besar kemungkinan untuk merokok serta terus melakukannya. Para peneliti memperkirakan, 34 persen remaja belasan tahun mulai merokok akibat aktivitas promosi perusahan rokok (Galamedia, 5/10/2000).

Alternatif Pencegahan

Menyimak beberapa akibat dari kebiasaan merokok di atas, semoga semakin membulatkan tekad kita bersama untuk mendukung pencanagan “Sekolah sebagai Kawasan Bebas Rokok.” Untuk itu, merujuk pada teori yang diungkapkan Hendrik L. Bloom, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia, diantaranya akibat faktor lingkungan mempengaruhi sebesar 40 persen, faktor prilaku 35 persen, faktor upaya pelayanan kesehatan 20 persen, dan faktor keturunan 5 persen.

Secara demikian, penciptaan kondisi kawasan bebas rokok ini akan memperkecil ruang untuk tersalurnya keinginan merokok, karena faktor lingkungan dan prilaku seseorang itu memiliki porsi terbesar dalam terciptanya kebiasaan untuk merokok. Selain itu, merujuk kepada pandangan yang mengatakan bahwa pola pendidikan pada anak yang efektif adalah berawal dari rumah kita. Berikut ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah merokok sejak anak-anak (baca: melalui penciptaan kawasan bebas rokok).

Pertama, memberi contoh yang baik. Cara yang efektif dan terbaik untuk menjauhkan anak dari kebiasaan dan bahaya merokok, tentu dengan sendirinya kita (sebagai orangtua) tidak merokok. Anak-anak umumnya lebih mudah terpengaruh oleh contoh nyata yang dilihatnya dari pada mendengar larangan atau pun perintah untuk tidak merokok secara lisan.

Kedua, melalui pendidikan. Orangtua sebagai pilar pendidikan anak-anak di rumah, sebaiknya sesering mungkin berdiskusi dan menjelaskan kepada anak-anak tentang efek jangka pendek akibat merokok, seperti sulit bernapas, tenggorokan merasa gatal dan kering, sampai efek jangka panjangnya (misalnya timbulnya penyakit kanker paru-paru, kebutaan, dan terganggunya ekonomi keluarga). Tanamkan juga pada diri setiap anak bahwa tidak benar pendapat yang menyebutkan kalau prilaku merokok itu suatu yang menantang keberanian dan menampakkan kedewasaan serta kematangan seseorang.

Ketiga, para pendidik di sekolah hendaknya memberi teladan yang baik bagi anak didiknya. Janganlah membiasakan merokok di depan anak didiknya. Begitu juga di sekolah harus sering dikampanyekan program anti rokok. Kampanye anti rokok di sekolah merupakan pendeketan lain yang dapat mencegah anak menjadi perokok. Lebih baik lagi, bila melibatkan dan mengikutsertakan beberapa anak didik yang menjadi “pemimpin” grup untuk mengimformasikan pesan-pesan efek negatif merokok, serta menentukan sangsi apa yang akan dikenakan bagi mereka yang melanggar dan tentunya dilakukan secara demokratis antara pengelola pendidikan dan peserta didik.

Tindakan tersebut akan lebih efektif lagi, jika pemerintah benar-benar komitmen dalam menegakkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, serta PP No. 38 tahun 2000 tentang perubahan PP No. 81 tahun 1999. Jadi, untuk mendapatkan hasil maksimal dalam menciptakan kawasan bebas rokok (terutama) di tempat-tempat umum, tentu memerlukan dukungan semua pihak, lebih-lebih dari orang tua sebagai pendidik di dalam rumah. Hal ini tentunya harus didukung oleh setiap lapisan masyarakat. Lebih-lebih bagi ummat Islam, kebiasaan merokok ini adalah tergolong perbuatan yang makruh dan suatu hal yang sia-sia (baca: mubadzir). Mengapa, uang untuk rokok tidak kita manfaatkan saja bagi hal-hal lain yang lebih bermanfaat, baik bagi diri sendiri dan lebih-lebih bagi orang lain?

Dalam hal ini, Allah SWT melarang kita untuk menghambur-hamburkan harta, seperti ditegaskan dalam QS. Al-Isro: 26, yaitu: “Janganlah menghambur-hamburkan hartamu dengan boros, karena pemborosan itu adalah saudaranya setan.” Demikian pula Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Allah membencimu karena kamu menyia-nyiakan harta.” (HR. Bukhari-Muslim). Semoga kita terhindar dari orang-orang yang demikian. Wallahu’alam bishawab.***

(Arda Dinata, AMKL., ahli kesehatan lingkungan dan Pengajar di Akademi Kesehatan Lingkungan/AKL Kutamaya Bandung).

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com

WWW.ARDADINATA.COM