- / / : 081284826829

Kebakaran Hutan, Polusi Udara dan Flu Burung



Oleh ARDA DINATA


AKIBAT salah urus pengelolaan hutan selama 30 tahun adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan dan lahan, khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah di balak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran (Schindler, dkk.; 1989).

Kebakaran hutan tersebut hampir terjadi tiap tahun, seperti saat ini yang melanda lagi beberapa daerah di Indonesia. Sungguh ironis, mengapa kita tidak dapat mengambil hikmah dari kejadian masa lalu. Masih ingat dalam ingatan kita berupa kebakaran besar yang terjadi pada 1982/1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kejadian yang bersamaan dengan munculnya fenomena El Nino tersebut, mengakibatkan kerugiannya ditaksir mencapai 4,4 miliar dollar AS (lebih dari 31 triliun rupiah), dan dampaknya hingga ke negara tetangga.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah ada hubungannya antara terjadinya kebakaran hutan dan polusi udara dengan terjadinya penyebaran virus flu burung di Indonesia?

Kebakaran Hutan Akibatkan Polusi Udara

Kebakaran hutan merupakan proses yang paling dominan dalam kemampuanya menimbulkan polutan di samping juga proses atrisi dan penguapan. Karena dari pembakaran itulah akan meningkatkan bahan berupa substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai jumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi dan memberikan efek terhadap manusia, hewan, vegetasi dan material (Master; 1991).

Atas dasar hal tersebut, jadi jelas-jelas bahwa akibat adanya kebakaran hutan akan menghasilkan polusi udara. Ada beberapa bahan polutan dari pembakaran yang dapat mencemari udara, diantaranya adalah bahan polutan primer, seperti: hidrokarbon dan karbon oksida, karbon dioksida, senyawa sulphur oksida, senyawa nitrogen oksida dan nitrogen dioksida. Adapun polutan berbentuk partikel adalah asap berupa partikel karbon yang sangat halus bercampur dengan debu hasil dari proses pemecahan suatu bahan.

Kenyataan ini, sadar ataupun tidak, yang jelas adanya bahan polutan dari pembakaran berupa gas maupun partikel yang berada di atmosfer akan menyebabkan kelainan pada tubuh manusia. Lebih jauh, Rully Syumanda (2003), Direktur Eksekutif WALHI Riau, memaparkan beberapa aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan.

Pertama, dampak terhadap sosial, budaya dan ekonomi, di antaranya berupa: hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; terganggunya aktivitas sehari-hari; peningkatan jumlah hama; terganggunya kesehatan; dan produktivitas menurun.

Kedua, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, diantaranya berupa: hilangnya sejumlah spesies; ancaman erosi; perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan; penurunan kualitas air; terganggunya ekosistem terumbu karang; menurunnya devisa negara; dan sedimentasi di aliran sungai.

Ketiga, dampak terhadap hubungan antar negara. Asap kebakaran tersebut tidak mengenal batas administratif, sehingga dengan terbawa angin sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di Indonesia. Akibatnya hubungan antara negara menjadi terganggu.

Keempat, dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Tebalnya asap mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Hal ini, tentu akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di tempat yang dipenuhi asap.

Penyebaran Flu Burung 

Merebaknya kasus flu burung di beberapa daerah, kalau kita mau jujur ternyata memiliki hubungan nyata dengan rusaknya tatanan hutan di sejumlah daerah. Kita tahu, sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak mencampuri urusan produksi manusia, maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain.

Dalam hal ini, sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dalam beberapa kasus justru masuk dalam komunitas manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.

Hubungan rusaknya hutan dengan muncul dan terjadinya penyebaran virus flu burung ini, diakui pula oleh Dr. Feng Lili, pakar mikroba dari Baylor College of Medicine AS. Ia menyatakan, munculnya virus flu burung sangat terkait dengan kerusakan lingkungan di Cina dalam dua dekade terakhir. Manusia, kata Lili, telah merusak alam secara berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan ekologi mikroba. Gangguan keharmonisan hidup antara manusia, alam, dan lingkungannya telah memicu bangkitnya kuman-kuman yang tidur.

Menurut Lili, seperti dikutip Prof. Dr. Hadi S. Alikodra (2006), Flu burung (FB) dan SARS merupakan penyakit yang menular lewat pernafasan. Berdasarkan penelitiannya di Cina, penyebab kedua penyakit tersebut adalah polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Polusi udara di Cina saat ini sudah mencapai tahap yang sangat berbahaya. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan minimnya suplai oksigen (O2) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Seperti diketahui, suplai oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu rusak, maka suplai oksigen pun berkurang. Dampaknya luar biasa: mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen --yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend-- adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif. Bila oksigen itu berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang. Dampaknya, mikroba dan virus akan makin berkembang.

Kondisi seperti itulah, kelihatannya yang terjadi juga di Indonesia. Apalagi dewasa ini, kondisi pencemaran lingkungan dan kerusakan hutan terjadi di mana-mana. Apalagi hal ini didukung oleh sikap masyarakat yang kelihatannya kurang peduli dan mewaspadai terhadap penyebaran penyakit flu burung.

Jalan Keluar

Melihat kondisi seperti itu, kata Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor, bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat virus flu burung akan menjadi wabah yang menakutkan. Namun sebelum terlambat, sesuai hukum alam, kita harus berupaya memperbanyak gas oksigen di atmosfir. Ini karena gas oksigen diketahui bisa membunuh virus. Dan salah satu cara paling mudah untuk menambah kadar gas oksigen di alam, adalah dengan menanam pohon sebanyak mungkin. Sebab pepohonan adalah "pabrik" oksigen yang paling murah. Kalau tidak, nanti kecepatan pertumbuhan virus flu burung akan jauh meninggalkan kecepatan penambahan kadar oksigen di alam.

Akhirnya, untuk mengatasi masalah polusi udara dan flu burung, maka setiap kita harus menjaga kelestarian hutan/pohon dan kebersihan lingkungan. Sebab, pohon sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup kita, diantaranya: untuk menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang sempat terserap tanah; menjaga kesuburan tanah; memasok kebutuhan oksigen (O2); dan menyaring kotoran.***

Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia. Arda dapat dihubungi melalui email: reusenews@yahoo.com. Hp. 081.320.476048.
WWW.ARDADINATA.COM