- / / : 081284826829

Ketentuan Dasar Pelabelan Halal

Oleh ARDA DINATA

WALAUPUN
kita telah mengetahui makanan apa saja yang diharamkan dan dihalalkan serta persyaratan makanan yang dapat dikatagorikan sebagai makanan baik dan sehat. Namun permasalahannya adalah saat ini begitu banyak makanan yang ditawarkan dalam bentuk siap saji (baca: siap makan) di sekeliling kita yang belum ada labelisasi kehalalannya. Padahal kita tahu bersama dalam Undang-undang Pangan yang kita miliki antara lain mengatur setiap produsen makanan harus menyertakan tulisan halal dalam produknya.

Untuk menguji kebenaran dari kehalalan suatu makanan/minuman itu, setiap perusahaan yang memproduksi atau memasukkan bahan kemasan yang diedarkan wajib memeriksakan terlebih dahulu pada lembaga-lembaga yang telah ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku.

Berikut ini merupakan dasar acuan kerja The Islamic Food and Nutrition Council of America dalam memberikan konsultasi dan pelabelan di Amerika Serikat. Seperti yang dikutip Lukman Hakim M (1997), aturan tersebut dirinci dalam 11 ketentuan (Muhammad Munir Chaudry, Food Tecnology, 1992) yaitu:


1. Pada prinsipnya semua makanan adalah halal, kecuali beberapa yang oleh Allah SWT dinyatakan haram.

2. Hanya Allah SWT saja yang mempunyai wewenang untuk menyatakan bahwa suatu makanan itu halal atau haram. Tak seorang pun dibenarkan mengambil wewenang tersebut dari kuasa-Nya, betapa pun tinggi dan besarnya kekuasaan yang dimilikinya.

3. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama artinya dengan perbuatan menyekutukan Allah SWT.

4. Alasan prinsip diharamkannya suatu makanan adalah karena kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya.

5. Makanan yang halal tersedia secara mencukupi, oleh karenanya yang haram sebenarnya merupakan yang tidak berguna.

6. Apabila suatu makanan dinyatakan haram, maka semua bentuk produk yang berasal dari bahan (makanan) tersebut juga haram hukumnya.

7. Pemalsuan yang haram terhadap yang halal adalah terlarang.

8. Maksud dan kehendak Allah SWT adalah agar tidak menerima atau menggunakan yang haram hukumnya.

9. Makanan yang meragukan status hukumnya, apakah halal atau haram, harus dihindari.

10. Hukum halal atau haram berlaku bagi setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras dan sebagainya, bahkan berlaku bagi masyarakat non muslim juga.

11. Keperluan yang menyebabkan pengecualian. Makanan yang diharamkan sangatlah terbatas jumlahnya, namun perintah larangan penggunaannya sangat kuat. Dalam keadaan sangat terpaksa, umat Islam dibolehkan mengkonsumsi secukupnya makanan yang haram hukumnya hingga kondisi keterpaksaan tersebut dapat dilewati dengan selamat. ***

Arda Dinata adalah dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan/AKL Kutamaya Bandung

Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.

http://www.miqra.blogspot.com
WWW.ARDADINATA.COM